Indonesia kini berada dalam kondisi “gawat darurat”. Cirinya terlihat dari impor pangan yang mencapai angka 80%. Beras, yang menjadi makanan pokok masyarakat, masih harus diimpor. Bahkan tempe, makanan tradisional khas negeri ini yang sangat dikenal, masih terus-menerus terhantam oleh krisi kedelei. Dimanakah negeri agraris yang mampu menghasilkan sendiri produk pertaniannya?
Kita harus berbesar hati untuk mengakui bahwa bangsa ini sesungguhnya telah krisis pangan. Hanya untuk sementara, krisisnya terselamatkan dengan adanya kebijakan impor. Namun kita harus waspada. Kelak, ketika terjadi krisis di negeri pengekspor, negeri kita yang tergantung pada produk negara lain akan terhantam badai krisis.
Bila kita menilik lebih jauh, cara pandang pembangunan di Indonesia sudah lama keliru. Jakarta sebagai pusat pemerintahan, artinya jelas identik dengan pusat kebijakan. Soalnya pusat kebijakan ini seringkali diartikan, diyakini, hingga dipaksakan juga jadi pusat pembangunan. Cara dan sikap pandang ini, akibatnya menular kepada ibu kota provinsi, ibu kota kabupaten, dan kota madya yang mereplika jadi pusat kebijakan sekaligus pusat pembangunan. Akibatnya konsentrasi pembangunan kini sungguh-sungguh terpusat di kota-kota. Terjadi kepincangan pembangunan, ketidakadilan pusat dan daerah – kota dan desa. Akibatnya terjadi perapuhan sistemik yang merongrong kekuatan negara dan stabilitas sebagai sebuah bangsa.
Perbandingan kota dan desa:
- Jumlah ibu kota provinsi, kota madya, & kabupaten, sekitar 500 kota.
- Jumlah desa sekitar 7.000 – 8.000 desa.
Dengan membangun desa, jelas kemakmuran desa akan mengalir dan mendorong kota-kota tumbuh lebih sehat.
Karena pembangunan terkonsentrasi di kota, desa pun terabaikan yang artinya tak ada kemajuan di desa. Maka desa pun ditinggalkan warga terbaik. Akibatnya, 71.000 dari 78.000 desa jadi desa tertinggal Pengolahan sawah dan kebun sayur mayur yang tak banyak menjanjikan, akhirnya beralih kepemilikan.
Hingga akhirnya kini, 88% petani memiliki lahan rata-rata hanya 0,5 ha. Lahan yang untuk kebutuhan sendiri pun tak cukup. Hingga 80% penghasilan petani untuk kebutuhan sehari-hari, ternyata memang bukan dari pertanian. Dengan demikian, masih layakkah petani dianggap petani? Dan ironisnya, kondisi sulit ini pun mendorong para petani sekarang untuk tidak menganjurkan anak-anaknya jadi petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar